Keadaan Pendidikan Indonesia Menjelang Kemerdekaan
Assalam Print - Sejak awal Belanda mengenal Indonesia tidak ada keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju terutama untuk bidang pendidikan. VOC hanya melihat, bahwa bumi Indonesia subur dan kaya dengan rempah-rempah. Barang tersebut sangat sulit diperoleh saat itu di negara lain.
Pemerintah kolonial pengganti VOC melihat Indonesia adalah ladang yang besar. Peladangnya bodoh dan tak berpendidikan. Tanpa bekerja keras Belanda dapat memperoleh yang diinginkan.
Dengan ladang yang luas, Indonesia menjadi sumber ekonorni untuk membangun negeri Belanda sehingga tidak mengherankan bila semenjak dating sampai angkat kaki dari Indonesia, Belanda selalu berusaha mengisolasi masyarakat Indonesia dan hubungan dengan dunia luar. Meskipun ada usaha mendidik putera Indonesia, namun selalu dikaitkan dengan “usaha melestarikan kolonialisme”.
Sebelum keputusan ini dijalankan, 3 tahun kemudian (1811 M) Deandels terpaksa menyerahkan kekuasaannya kepada Raffles (Inggris). Kecuali Bupati Cirebon yang berhasil mendirikan Sekolah Bidan tahun 1809 M.
Selama dijajah Inggris (1811-1816 M) tidak ada usaha di bidang pendidikan, kecuali di bidang ilmu pengetahuan. Raffles berhasil menulis sebuah buku yang terkenal “History of Java”.
Setelah terjadi penyerahari dan John Fendsal(pengganti Raffles) kepada Belanda 1816 M. Komisaris Jenderal Vander Capellen mununjuk C.G.C. Reindawt (juga pendiri Kebun Raya Bogor) mengurus masalah pendidikan.
Usaha C.G.C. Reinwadt yang pertama ialah membuat Peraturan Pemerintah tahun 1818 M. Peraturan ini Iebih banyak berisi tentang: pendirian Sekolah Rendah Belanda, isi pendidikan sekolah Belanda dan pengawasan terhadap Sekolah Bumi Putera.
Pendidikan Bumi Putera tidak didirikan atau diselenggarakan tetapi hanya diawasi. Sedangkan untuk Belanda didirikan dan diatur posisinya.
Sampai tahun 1852 M, Belanda telah mendirikan 30 buah sekolah anak-anak Belanda (termasuk Eropa, Cina dan anak Nasrani) yang disebut dengan Sekolah Kelas II. Artinya sampai tahun 1852 M belum ada satupun sekolah yang didirikan Belanda untuk bumi putera bukan bangsawan.
Setelah tahun 1850 M, baru didirikan sekolah di Jawa dengan tujuan mendidik calon pekerja rendah pada pemerintahan Belanda (tetapi tidak dari kalangan rakyat biasa). Karena sulit mencari guru yang dapat berkomunikasi dengan anak pribumi.
Maka tahun 1852 M, didirikan Kweekschool (Sekolah Guru) yang pertama di Surakarta (tahun 1875 M), dipindahkan ke Magelang. Selanjutnya Bukittinggi (1856 M), Tapanuli (1864M - ditutup 1874 M), Bandung (1866 M), Tondano (1873 M), Ambon (1873 M), Probolinggo (1875 M), Makasar (1876 M) dan Padang Sidenpuan (1879). Murid Kweekschool ini terbatas hanya untuk anak bangsawan.
Sampai akhir abad 19 tidak ada satu usahapun dari Belanda yang berkaitan dengan mencerdaskan bangsa Indonesia. Semua aktifitas pendidikan hanya untuk memenuhi kepentingan penjajahan. Kecuali Bumi Putera beragama Nasrani. Sebab mereka dianggap sebagai anak Belanda karena seagama dan keturunan Cina karena anak “konsi dagang” Belanda.
Awal abad 20 (tahun 1901 M) Belanda mulai menerapkan politik etis (politik basa basi/berpura-pura memberikan kemakmuran). Sekolah untuk bumi putera mulai didirikan dan dibagi kepada 3 model.
Pertama, Sekolah Desa (untuk rakyat jelata). Lama pendidikan 3 tahun, gurunya pegawai desa bukan pegawai negeri. Pendidikan dibiayai dengan tabungan desa. Sekolah ini hanya terbatas untuk membebaskan buta huruf, berhitung dan membaca.
Kedua, Sekolah Vorlog (lanjutan) dari Sekolah Desa, lamanya 2 tahun.
Ketiga, Sekolah Kelas 1 (sejak tahun 1914 M, dijadikan HIS) khusus untuk anak priyayi.
Tamatan HIS dapat melanjutkan ke Meer Vitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setingkat SMP, dan terus ke Algemene Middlebare School (AMS) sekarang disebut (SLTA/SMA/SMU).
Dari sistem pendidikan yang dibuat Belanda ini. Terlihat maksud dibalik kebijakan tersebut. Yaitu menciptakan kondisi agar bumi putera tidak dapat bersatu. Mereka selalu diusahakan berbeda dan saling mencurigai, tetapi bias dimanfaatkan tenaganya tanpa harus menjadi penguasa.
Keadaan ini membekas dalam di hati umat Islam. Oleh karena itu. keadaan yang dialami penduduk Pribumi pada dasarnya adalah keadaan umat Islam (karena mayoritas).
Di samping itu, kolonial Belanda selalu menempatkan Islam sebagai musuh baik untuk kolonialisme maupun untuk usaha menyebarkan agama Nasrani.
Oleh karena itu, kesadaran tentang pentingnya kemerdekaan (semangat nasionalisme) lebih cepat tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam. Sebab dalam kehidupan politik, ekonomi dan pendidikan selalu dijadikan warga kelas rakyat.
Di samping itu, dengan segala kebijakan politik, Belanda tidak bisa memutus hubungan Internasional dan semangat Ukhuwah Islamiyah. Terutama melaksanakan Haji ke Makkah. Melalui Haji inilah antara lain semangat nasionalisme dan kesadaran politik umat Islam dibina. Sebab Haji dilaksanakän oleh seluruh umat Islam dunia (internasional).
Melalul kegiatan Haji ini pulalah lahirnya tokoh-tokoh pergerakan nasional dari umat Islam seperti KH. A. Dahlan, Abdullah Ahmad. Syekh M. Jamil Jambek, H. Zainuddin Labai dan K.H. Asy’ari.
Baca peranan umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Begitu juga di bidang ekonomi melahirkan Syarikat Dagang Islam. Tetapi bagaimana di bidang pendidikan?
Reaksi terhadap masalah pendidikan ini sebenarnya tidak terpisah dengan reaksi terhadap kolonialisme secara keseluruhan. Sebab pendidikan hanya sebagian dari dampak kolonialisme.
Rasa nasionalisme yang tumhuh akibat (pendidikan Belanda juga dan pengaruh dunia luar) melahirkan berbagai usaha perubahan seperti yang dilakukan Taman Siswa, Tokoh dan Organisasi Islam, Pondok Pesanteren atau perorangan, seperti Sekolah Keterampilan Wanita oleh tokoh wanita (RA Kartini, Rohana Kudus, Dewi Sartika dan Rangkayo Rasuna Said).
Begitu juga upaya yang dilakukan para tokoh Islam dan Kiyai di Pondok Pesantien, Surau dan Madrasah. Justru pertahanan moral para tokoh Islam dan Kiyai inilah yang menjadi modal dasar bagi perjuangan kemerdekaan di kemudian hari.
Usaba lain ialah mendirikan organisasi sosial yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan seperti Muhammadiyah (Kh. Ahmad Dahlan 1912M), dan Nahdatul Ulama (KH. Hasyim Asy’ari 1926 M), Sarikat Dagang Islam (1905 M) yang kemudian menjadi Sarikat Islam pada tahun 1912 M.
Sebagai rangkuman dari artikel ini dan artikel pendidikan sebelumnya yang mengenai Keadaan Sosial Ekonomi Indonesia Menjelang Kemerdekaan adalah sebagai berikut :
Penjajahan Belanda yang berlangsung cukup lama menyebabkan kehidupan sosial (masyarakat) tidak menentu dan serba tidak pasti.
Keterlibatan masyarakat dalam mengatur pemerintahan terbatas sebagai pegawai rendah dan pesuruh Belanda. Sedangkan pada sector ekonomi sepenuhnya dikendalikan oleh pemenintah kolonial.
Kolonialisme Belanda di Indonesia berawal dari urusan dagang rempah-rempah yang dilakukan oleh VOC. Semenjak VOC dibubarkan (1799 M) Belanda menjadi penguasa (penjajah). Masyarakat dianggap sebagai pekekerja dan pembayar upeti.
Kolonialisme menguasai seluruh sumber daya ekonomi. Untuk mempertahankannya, maka Belanda mengelompokkan warga masyarakat kepada golongan bangsa Eropa (Belanda), bangsa Cina, bangsa asing seperti bangsa Arab dan India, dan terakhir adalah bangsa pribumi (penduduk asli Indonesia). Kebijakan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap ekonomi rakyat.
Sejak awal Belanaa mengenal Indonesia tidak ada keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju. VOC hanya melihat, bahwa bumi Indonesia subur dan kaya dengan rempah-rempah.
Sampai akhir abad 19 tidak ada satu usahapun dari Belanda yang berkaitan dengan mencerdaskan bangsa Indonesia. Semua aktifitas pendidikan hanya untuk memenuhi kepentingan penjajahan. Kecuali bumiputera beragama Nasrani. Sebab mereka dianggap sebagai anak Belanda karena seagama dan keturunan Cina karena anak “kongsi dagang” Belanda.
Awal abad 20 (tahun 1901 M) Belanda mulai menerapkan politik etis (politik basa basi/berpura-pura memberikankemakmuran).
Setelah politik etis, sekolah untuk bumi putera mulai didirikan dan dibagi kepada 3 model.
Pertama, Sekolah Desa (untuk rakyat jelata), lama pendidikin 3 tahun. Sekolah ini hanya terbatas untuk membebaskan buta hunuf, berhitung dan membaca.
Kedua, Sekolah Vonlog (lanjutan) dan Sekolah Desa. Lamanya 2 tahun.
Ketiga ,Sekolah Kelas I (sejak tahun 1914 M, dijadikan HIS) khusus untuk anak priyai. Tamat HIS dapat melanju&an ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setinkat SMP, dan terus ke Algemene Middlebare School (AMS) sekarang disebut SLTA, SMU, SMA.
Sistem pendidikan Belana bermaksud menciptakan kondisi agar bumi putera tidak dapat bersatu. Mereka selalu diusahakan berbeda pendapat dan saling mencurigai agar bisa dimanfaatkan tenaganya tanpa harus menjadi penguasa.
Pendidikan Islam oleh Belanda diaggap berbahaya dan selalu diawasi dan diintimidasi. Tetapi Belanda mendukung pendidikan agama Kristen.
Meskipun mendapat tekanan yang berat, pendidikan tetap berjalan. Dilakukan di Masjid, Mushalla, Langgar, Surau dan Pondok Pesantren. Lembaga pendidikan inilah yang berjasa melahirkan tokoh-tokoh Islam sebelum kemerdekaan.
Pemerintah kolonial pengganti VOC melihat Indonesia adalah ladang yang besar. Peladangnya bodoh dan tak berpendidikan. Tanpa bekerja keras Belanda dapat memperoleh yang diinginkan.
Dengan ladang yang luas, Indonesia menjadi sumber ekonorni untuk membangun negeri Belanda sehingga tidak mengherankan bila semenjak dating sampai angkat kaki dari Indonesia, Belanda selalu berusaha mengisolasi masyarakat Indonesia dan hubungan dengan dunia luar. Meskipun ada usaha mendidik putera Indonesia, namun selalu dikaitkan dengan “usaha melestarikan kolonialisme”.
Usaha Belanda di Bidang Pendidikan.
Tahun 1808 M Gubernur Jenderal Deandles mengeluarkan perintah kepada seluruh Bupati di Jawa agar di setiap distrik (kabupaten) didirikan sekolah untuk rakyat.Sebelum keputusan ini dijalankan, 3 tahun kemudian (1811 M) Deandels terpaksa menyerahkan kekuasaannya kepada Raffles (Inggris). Kecuali Bupati Cirebon yang berhasil mendirikan Sekolah Bidan tahun 1809 M.
Selama dijajah Inggris (1811-1816 M) tidak ada usaha di bidang pendidikan, kecuali di bidang ilmu pengetahuan. Raffles berhasil menulis sebuah buku yang terkenal “History of Java”.
Setelah terjadi penyerahari dan John Fendsal(pengganti Raffles) kepada Belanda 1816 M. Komisaris Jenderal Vander Capellen mununjuk C.G.C. Reindawt (juga pendiri Kebun Raya Bogor) mengurus masalah pendidikan.
Usaha C.G.C. Reinwadt yang pertama ialah membuat Peraturan Pemerintah tahun 1818 M. Peraturan ini Iebih banyak berisi tentang: pendirian Sekolah Rendah Belanda, isi pendidikan sekolah Belanda dan pengawasan terhadap Sekolah Bumi Putera.
Pendidikan Bumi Putera tidak didirikan atau diselenggarakan tetapi hanya diawasi. Sedangkan untuk Belanda didirikan dan diatur posisinya.
Sampai tahun 1852 M, Belanda telah mendirikan 30 buah sekolah anak-anak Belanda (termasuk Eropa, Cina dan anak Nasrani) yang disebut dengan Sekolah Kelas II. Artinya sampai tahun 1852 M belum ada satupun sekolah yang didirikan Belanda untuk bumi putera bukan bangsawan.
Setelah tahun 1850 M, baru didirikan sekolah di Jawa dengan tujuan mendidik calon pekerja rendah pada pemerintahan Belanda (tetapi tidak dari kalangan rakyat biasa). Karena sulit mencari guru yang dapat berkomunikasi dengan anak pribumi.
Maka tahun 1852 M, didirikan Kweekschool (Sekolah Guru) yang pertama di Surakarta (tahun 1875 M), dipindahkan ke Magelang. Selanjutnya Bukittinggi (1856 M), Tapanuli (1864M - ditutup 1874 M), Bandung (1866 M), Tondano (1873 M), Ambon (1873 M), Probolinggo (1875 M), Makasar (1876 M) dan Padang Sidenpuan (1879). Murid Kweekschool ini terbatas hanya untuk anak bangsawan.
Sampai akhir abad 19 tidak ada satu usahapun dari Belanda yang berkaitan dengan mencerdaskan bangsa Indonesia. Semua aktifitas pendidikan hanya untuk memenuhi kepentingan penjajahan. Kecuali Bumi Putera beragama Nasrani. Sebab mereka dianggap sebagai anak Belanda karena seagama dan keturunan Cina karena anak “konsi dagang” Belanda.
Awal abad 20 (tahun 1901 M) Belanda mulai menerapkan politik etis (politik basa basi/berpura-pura memberikan kemakmuran). Sekolah untuk bumi putera mulai didirikan dan dibagi kepada 3 model.
Pertama, Sekolah Desa (untuk rakyat jelata). Lama pendidikan 3 tahun, gurunya pegawai desa bukan pegawai negeri. Pendidikan dibiayai dengan tabungan desa. Sekolah ini hanya terbatas untuk membebaskan buta huruf, berhitung dan membaca.
Kedua, Sekolah Vorlog (lanjutan) dari Sekolah Desa, lamanya 2 tahun.
Ketiga, Sekolah Kelas 1 (sejak tahun 1914 M, dijadikan HIS) khusus untuk anak priyayi.
Tamatan HIS dapat melanjutkan ke Meer Vitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setingkat SMP, dan terus ke Algemene Middlebare School (AMS) sekarang disebut (SLTA/SMA/SMU).
Dari sistem pendidikan yang dibuat Belanda ini. Terlihat maksud dibalik kebijakan tersebut. Yaitu menciptakan kondisi agar bumi putera tidak dapat bersatu. Mereka selalu diusahakan berbeda dan saling mencurigai, tetapi bias dimanfaatkan tenaganya tanpa harus menjadi penguasa.
Keadaan Pendidikan Umat Islam.
Kolonial Belanda memberlakukan umat Islam sejajar dengan kaum pribumi. Sekolah untuk mereka tebatas hanya Sekolah Desa dan Vorlog. Padahal Islam agama mayoritas penduduk pribumi. Sedangkan penduduk beragama selain Islam khususnya Kristen (Protestan-Khatolik) diberlakukan samadengan bangsa Eropa.Keadaan ini membekas dalam di hati umat Islam. Oleh karena itu. keadaan yang dialami penduduk Pribumi pada dasarnya adalah keadaan umat Islam (karena mayoritas).
Di samping itu, kolonial Belanda selalu menempatkan Islam sebagai musuh baik untuk kolonialisme maupun untuk usaha menyebarkan agama Nasrani.
Oleh karena itu, kesadaran tentang pentingnya kemerdekaan (semangat nasionalisme) lebih cepat tumbuh dan berkembang di kalangan umat Islam. Sebab dalam kehidupan politik, ekonomi dan pendidikan selalu dijadikan warga kelas rakyat.
Di samping itu, dengan segala kebijakan politik, Belanda tidak bisa memutus hubungan Internasional dan semangat Ukhuwah Islamiyah. Terutama melaksanakan Haji ke Makkah. Melalui Haji inilah antara lain semangat nasionalisme dan kesadaran politik umat Islam dibina. Sebab Haji dilaksanakän oleh seluruh umat Islam dunia (internasional).
Melalul kegiatan Haji ini pulalah lahirnya tokoh-tokoh pergerakan nasional dari umat Islam seperti KH. A. Dahlan, Abdullah Ahmad. Syekh M. Jamil Jambek, H. Zainuddin Labai dan K.H. Asy’ari.
Baca peranan umat Islam dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Reaksi Kaum Pribumi Terhadap Sistem Pendidikan Belanda.
Perlakuan Belanda terhadap bangsa Indonesia semenjak awal (zaman VOC) mendapat perlawanan dari pemimpin dan rakyat Indonesia. Di bidang politik ditunjukkan perlawanan pisik yang melahirkan berbagai peperangan.Begitu juga di bidang ekonomi melahirkan Syarikat Dagang Islam. Tetapi bagaimana di bidang pendidikan?
Reaksi terhadap masalah pendidikan ini sebenarnya tidak terpisah dengan reaksi terhadap kolonialisme secara keseluruhan. Sebab pendidikan hanya sebagian dari dampak kolonialisme.
Rasa nasionalisme yang tumhuh akibat (pendidikan Belanda juga dan pengaruh dunia luar) melahirkan berbagai usaha perubahan seperti yang dilakukan Taman Siswa, Tokoh dan Organisasi Islam, Pondok Pesanteren atau perorangan, seperti Sekolah Keterampilan Wanita oleh tokoh wanita (RA Kartini, Rohana Kudus, Dewi Sartika dan Rangkayo Rasuna Said).
Begitu juga upaya yang dilakukan para tokoh Islam dan Kiyai di Pondok Pesantien, Surau dan Madrasah. Justru pertahanan moral para tokoh Islam dan Kiyai inilah yang menjadi modal dasar bagi perjuangan kemerdekaan di kemudian hari.
Usaba lain ialah mendirikan organisasi sosial yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan seperti Muhammadiyah (Kh. Ahmad Dahlan 1912M), dan Nahdatul Ulama (KH. Hasyim Asy’ari 1926 M), Sarikat Dagang Islam (1905 M) yang kemudian menjadi Sarikat Islam pada tahun 1912 M.
Sebagai rangkuman dari artikel ini dan artikel pendidikan sebelumnya yang mengenai Keadaan Sosial Ekonomi Indonesia Menjelang Kemerdekaan adalah sebagai berikut :
Penjajahan Belanda yang berlangsung cukup lama menyebabkan kehidupan sosial (masyarakat) tidak menentu dan serba tidak pasti.
Keterlibatan masyarakat dalam mengatur pemerintahan terbatas sebagai pegawai rendah dan pesuruh Belanda. Sedangkan pada sector ekonomi sepenuhnya dikendalikan oleh pemenintah kolonial.
Kolonialisme Belanda di Indonesia berawal dari urusan dagang rempah-rempah yang dilakukan oleh VOC. Semenjak VOC dibubarkan (1799 M) Belanda menjadi penguasa (penjajah). Masyarakat dianggap sebagai pekekerja dan pembayar upeti.
Kolonialisme menguasai seluruh sumber daya ekonomi. Untuk mempertahankannya, maka Belanda mengelompokkan warga masyarakat kepada golongan bangsa Eropa (Belanda), bangsa Cina, bangsa asing seperti bangsa Arab dan India, dan terakhir adalah bangsa pribumi (penduduk asli Indonesia). Kebijakan tersebut sangat besar pengaruhnya terhadap ekonomi rakyat.
Sejak awal Belanaa mengenal Indonesia tidak ada keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju. VOC hanya melihat, bahwa bumi Indonesia subur dan kaya dengan rempah-rempah.
Sampai akhir abad 19 tidak ada satu usahapun dari Belanda yang berkaitan dengan mencerdaskan bangsa Indonesia. Semua aktifitas pendidikan hanya untuk memenuhi kepentingan penjajahan. Kecuali bumiputera beragama Nasrani. Sebab mereka dianggap sebagai anak Belanda karena seagama dan keturunan Cina karena anak “kongsi dagang” Belanda.
Awal abad 20 (tahun 1901 M) Belanda mulai menerapkan politik etis (politik basa basi/berpura-pura memberikankemakmuran).
Setelah politik etis, sekolah untuk bumi putera mulai didirikan dan dibagi kepada 3 model.
Pertama, Sekolah Desa (untuk rakyat jelata), lama pendidikin 3 tahun. Sekolah ini hanya terbatas untuk membebaskan buta hunuf, berhitung dan membaca.
Kedua, Sekolah Vonlog (lanjutan) dan Sekolah Desa. Lamanya 2 tahun.
Ketiga ,Sekolah Kelas I (sejak tahun 1914 M, dijadikan HIS) khusus untuk anak priyai. Tamat HIS dapat melanju&an ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setinkat SMP, dan terus ke Algemene Middlebare School (AMS) sekarang disebut SLTA, SMU, SMA.
Sistem pendidikan Belana bermaksud menciptakan kondisi agar bumi putera tidak dapat bersatu. Mereka selalu diusahakan berbeda pendapat dan saling mencurigai agar bisa dimanfaatkan tenaganya tanpa harus menjadi penguasa.
Pendidikan Islam oleh Belanda diaggap berbahaya dan selalu diawasi dan diintimidasi. Tetapi Belanda mendukung pendidikan agama Kristen.
Meskipun mendapat tekanan yang berat, pendidikan tetap berjalan. Dilakukan di Masjid, Mushalla, Langgar, Surau dan Pondok Pesantren. Lembaga pendidikan inilah yang berjasa melahirkan tokoh-tokoh Islam sebelum kemerdekaan.
Post a Comment for "Keadaan Pendidikan Indonesia Menjelang Kemerdekaan"
- Silahkan Berkomentar Sesuai Artikel
- URL/Link Aktif atau Mati Akan Dihapus